Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menyoal Razia KTP Mahasiswa

Artikel ini sudah dimuat di Radar Tasikmalaya Edisi, 24 Desember di halaman 10 kolom wacana.

Dalam razia yang digelar Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Tasikmalaya Selasa (18/12) malam, berhasil menjaring beberapa PSK yang sedang mangkal. Selain itu, belasan mahasiswi kedapatan tidak bisa menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Mereka kebanyakan penghuni kos-kosan di bilangan Jalan Siliwangi. Mereka langsung digelandang seperti halnya para Pekerja Seks Komersial (PSK). Razia yang dinamai Pro Yustisi ini melibatkan Dinas Kependudukan KB dan Tenaga Kerja Kota Tasikmalaya.

Kepala Disduk KB Naker Jumli Sutisna Widjaja menyebutkan, razia Pra Yustisi tersebut sebagai langkah agar penduduk –tentu juga pendatang- menyadari akan pentingnya memiliki kartu tanda identitas semisal KTP. Apalagi dalam aturan disebutkan, masa tinggal 30 hari, harus sudah mempunyai KTP. (Radar Tasikmalaya, Edisi 19 Desember).

Menanggapi hal itu, kepada penulis, Kabiro Humas Unsil Ecky Sumawidjaja menegaskan, semestinya razia KTP bagi mahasiswa melibatkan pihak universitas. Bagaimana pun, mahasiswa masih terkait proses pembinaan dari fakultas masing-masing, mereka sedang menuntut ilmu di lembaga pendidikan tinggi. Ecky juga menyesalkan mengapa razia tersebut dilakukan pada malam hari.

Khawatir, itu menimbulkan citra negatif terhadap para mahasiswa yang terjaring. Padahal katanya, alangkah lebih baik bila petugas mendatangi kampus siang hari dengan cara baik-baik dan sopan. Atau dalam pelaksanaan razia dibarengi dengan pihak universitas. "Kami siap membantu pemerintah. Dan secara prinsip kami sependapat untuk menertibkan KTP terhadap mahasiswa itu," terangnya.

Ecky juga mempertanyakan, mengapa dalam razia itu, Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) dari universitas tidak diakui. Padahal, kartu itu juga bisa menjadi bukti legal, karena mereka sedang belajar di sebuah lembaga pendidikan. Apalagi bagi para mahasiswa yang jauh dari tempat tinggalnya, minimal sebelum mereka mendapat KTP di tempat baru.

Secara objektif, penertiban KTP serta kartu identitas lainya perlu didukung masyarakat. Ini terkait dengan kepentingan si pemiliki identitas itu. Dipastikan, seorang gelandangan, karena tidak memiliki KTP dan kartu keluarga ia kehilangan kesempatan mendapat bantuan, semisal Bantuan Langsung Tunai (BLT) beberapa waktu lalu.

Begitupun bila akan mengajukan kredit ke bank, nyicil sepeda motor atau rumah, tidak akan dikabulkan apabila tidak memiliki KTP. Demikian juga seorang suami istri yang hanya nikah secara agama, akan dianggap sedang mesum manakala mereka kedapatan petugas di hotel saat razia berlangsung. Begitulah kira-kira argumen sosial pentingnya memiliki KTP. Tentu, argumen hukum sudah pasti dan sanksinya lebih tegas. Meskipun terkadang masih ngaret alias terlalu pleksibel.

Terkait razia KTP yang hasilnya kebanyakan mahasiswi, ini yang mesti jadi pertanyaan. Mengapa Satpol PP merazia KTP di saat razia yang sama terhadap para PSK? Memang bisa saja, itu karena alasan teknis juga faktor biaya. Namun semestinya, petugas juga bersikap lebih arif. Mengingat efek psikologis massa akan menyamakan antara PSK dengan mahasiwi saat mereka digiring petugas Satpol PP. Apakah sama tingkat kesalahan antara PSK dengan orang yang tidak memiliki KTP?

Saat razia dilakukan, petugas juga memasuki rumah kos-kosan. Seolah-olah lokasi kos-kosan menjadi sarang maksiat. Sebab masyarakat sekitar tidak mau tahu, apakah razia itu bagi para PSK, dugaan kepemilikan narkoba atau razia teroris. Yang mereka ketahui, hasilnya, mahasiswa digiring petugas yang biasanya menggiring PSK dalam razia-razia.

BUKAN SEKEDAR KTP
Lepas dari persoalan di atas, keberadaan rumah kos-kosan sedikit banyak mengundang persoalan tersendiri. Meskipun diakui sangat membantu, namun diyakini pula menjadi penyumbang terbesar terhadap merosotnya moralitas mahasiswa yang masih remaja itu.

Iif Wijayanto, penulis buku "Seks In The Cost" dalam bukunya "Universitas, Kost-Kosan dan Pondokan" menyebutkan, bahwa kos-kosan sudah berubah fungsi dari fungsi asalnya. Salah satunya, dari fungsi tempat menginap dan belajar, sudah menjadi lokasi strategis untuk "mentrasfer ilmu" soal esek-esek.

Perilaku itu akan sangat mudah terjadi, apabila rumah kos-kosan discampur antara laki-laki dan perempuan. Bukankah di Kota Tasikmalaya juga banyak rumah kos-kosan model itu yang juga tanpa ditunggui induk semangnya? Jelas, ini sangat mengkhawatirkan. Apalagi, kontrol sosial terhadap rumah kos-kosan biasanya sangat longgar terutama di loksi-lokasi elit. Apalagi tak jarang pula, perumahan elit dijadikan rumah kos-kosan oleh para pemiliknya. Padahal, tingkat kepedulian masyarakat di perumahan elit, lebih cair, ketimbanga di luar.

Pola kemasyarakatan seperti itu, tentu akan melunturkan nilai-nilai lokal yang selama ini dipegang. Masyarakat juga cenderung apatis melihat tradisi yang dilanggar secara berulang-ulang. Di masyarakat lokal tetangga akan usil bila melihat seorang laki-laki berada dalam kos-kosan putri sudah larut malam atau sebaliknya. Namun tidak di rumah kos-kosan. Maka seiring berjalannya waktu, fenomena itu akan menjadi kebiasaan dan bukan lagi menjadi hal yang tabu.

Memang, di Kota Tasikmalaya, kondisinya belum separah di kota-kota besar. Namun perlahan, nilai-nilai moral dan kerifan lokal akan semakin tergerus. Sekarang juga, dengan munculnya perumahan-perumahan elit, dipastikan tradisi lokal akan berganti wujud dengan tradisi baru yang terbentuk oleh lingkungan itu. Misalnya, bila dalam masyarakat tradisional ada tradisi pengajian mingguan, bulanan juga peringatan hari-hari besar keagamana juga gotong royong membersihkan lingkungan, di pemukiman baru biasanya jarang dijumpai.

Maka, nampaknya, razia penertiban bukan semata-mata berhenti pada KTP. Akan tetapi, memerlukan perencanaan yang lebih matang dan jangka panjang, menyangkut regulasi serta tata tertib hukum yang dianut. Justru yang menjadi pertanyaan, mengapa tidak terlebih dahulu menertibkan kos-kosan yang penghuninya campur antara laki-laki dan perempuan itu? Bukankah itu sangat potensial menimbulkan kemaksiatan?

Kini, rumah kos-kosan sudah menjadi industri yang menjanjikan. Dikatakan industri, karena relasi antara pengguna rumah kos-kosan bukan lagi hubungan kekeluargaan, di mana pemilik rumah akan menjadi orang tua si penghuni kos-kosan. Akan tetapi, sudah bergeser pada hubungan bisnis semata. Asal bayar, selesai persoalan. Tak ada kepedulian untuk membina penghuninya agar mereka cepat lulus kuliah atau sukses dalam belajar.

Sementara, di lokasi yang mahal, penghuni cukup terjamin kebebasannya. Bahkan menjadi kesan, semakin mahal menyewa, semakin bebas pula pergaulan. Sayang, di Tasikmalaya ini, belum ada penelitian berapa jumlah orang married by accident (MBA) dari rumah kos-kosaan itu.

Namun untuk menertibkan perlu aturan yang jelas. Minimal setingkat perda atau peraturan wali kota. Sebab saat ini, yang menjadi dasar hukun razia-razia oleh Satpol PP Kota Tasikmalaya salah satunya Perda Nomor 5 tahun 2005 tentang Ketertiban Umum. Dari dasar hukum itulah, seabreg persoalan -yang biasa disebut penyakit masyarakat- bisa dirazia. Mulai para PSK, pedagang VCD, rumah kos-kosan, hotel-hotel kelas melati (tidak hotel berbintang), warung jamu, Pedagang Kaki Lima (PKL) di pusat kota hingga para gelandangan yang sedang mengemis. Padahal yang dikatakan penyakit masyarakat atau mengganggu ketertiban umum, bisa saja hanya persepsi penguasa atau minimal pejabat di Satpol PP. Lantas apa jadinya, bila penertiban yang berakibat fatal pada orang-orang yang terkena razia, bersumber dari persepsi dan interpretasi terhadap perda itu?

Maka, semestinya, pemerintah juga menerbitkan perda yang bisa mengatur secara spesipik. Apa salahnya bila dibuat Perda Kos-kosan termasuk aturan menyewakan rumah dengan tujuan bisnis. Di dalamnya bisa mengatur juga kelayakan rumah kos-kosan dan juga standar mutu rumah yang bisa dihuni atau disewakan.

Bahkan tak ada salahnya, bila rumah kos-kosan ke depan menjadi salah satu aset bagi pemasukan kas daerah melalui retribusinya. Sehingga saat satpol PP merazia tidak serta merta seenaknya menggedor-gedor pintu kamar anak kos. Namun terlebih dahulu melihat dokumen pemilik kos-kosan, menyangkut identitas para penghuni kos. Sehingga tidak terkesan, mereka menyamakan antara mahasiswa dengan para PSK.(*)
Penulis, salah seorang redaktur Radar Tasikmalaya

Posting Komentar untuk "Menyoal Razia KTP Mahasiswa"