Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menanti Realisasi Sekolah Gratis


(Artikel ini telah dimuat di Pikiran Rakyat Edisi 24 Maret 2009)

Lega. Begitu rasanya saat melihat pengumuman pada spanduk yang terpampang di gedung SDN/SMPN yang menyatakan, ”menyelenggarakan pendidikan gratis bagi seluruh siswa”. Sedangkan untuk sekolah swasta, Sekolah Bertarap Internasional dan rintisannya tertulis ”membebaskan iuran bagi siswa miskin”.
Pengumuman biaya sekolah gratis tersebut terkait peningkatan dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) yang direalisasikan pemerintah tahun 2009. Untuk SD/SDLB di kota sebesar Rp400.000 ribu dan Rp397.000 untuk SD/SDLB di kabupaten per siswa per tahun. Untuk SMP/SMPLB/SMPT di kota sebesar Rp575.000 dan SMP/SMPLB/SMPT di kabupaten Rp570.000 per siswa per tahun. Dana BOS tersebut termasuk alokasi buku. Sehingga sekolah wajib menggratiskan pembelian buku pelajaran dan dikoleksi di perpustakaan.
Tujuan alokasi BOS – dana yang diperoleh dari pinjaman Bank Dunia itu- menurut buku panduan BOS 2009, (1), menggratiskan seluruh siswa miskin di tingkat pendidikan dasar dari beban biaya operasional sekolah baik di negeri atau swasta. (2) Menggratiskan seluruh siswa SD negeri dan SMPN terhadap biaya operasional sekolah, kecuali pada RSBI dan SBI, juga, (3) meringankan beban biaya operasional sekolah bagi siswa di sekolah swasta.
Namun demikian, penambahan dana BOS masih menimbulkan ragam reaksi. Meski masyarakat secara umum sangat lega karena beban biaya ekonomi keluarga akan terkurangi, di tengah kondisi sulit ekonomi seperti ini. Sebaliknya bagi pengelola sekolah dirasakan kurang. Misalnya, di DKI Jakarta, sebanyak 176 sekolah elit menolak pencairan dana BOS. Alasan penolakan itu, biaya investasi yang dikeluarkan sekolah sangat besar. Sebelum ada dana BOS, sebesar apapun biaya investasi dan operasional sekolah sepenuhnya bisa dibebankan kepada orang tua murid.
Kenaikan dana BOS, semestinya tidak lagi dibarengi dengan seabreg pungutan kepada orang tua murid. Sebab –seperti dalam panduan BOS- orang tua murid hanya bertangungjawab pada biaya pribadi peserta didik seperti uang saku, buku tulis, alat tulis dan lain-lain. Selebihnya sudah ditanggung oleh pemerintah.
Ada 13 item yang terkandung dalam BOS yang tidak boleh dipungut oleh sekolah. Di antaranya, pembelian satu unit komputer untuk SD dan dua unit komputer untuk SMP. Dilarang juga memungut biaya ulangan umum dan ulangan sekolah, memungut biaya kebersihan dan sanitasi, biaya untuk bahan habis pakai, serta dilarang memungut biaya untuk membeli buku teks pelajaran juga koleksi perpustakaan. Dalam penerimaan siswa baru (PSB) sekolah dilarang memungut biaya formulir pendaftaran. Sedangkan untuk sumbangan sukarela yang tidak ditentukan besarnya serta tidak mengikat juga tidak ditentukan batas pengumpulannya, itu masih dibolehkan.

Peluang Pungutan
Sementara itu, momen-momen yang kerapkali menjadi ajang pungutan kepada orang tua murid, antara lain: saat penerimaan siswa baru (PSB). Momen PSB ini, orang tua sudah takut sebelum anaknya mendapat kepastian diterima atau tidak. Calon siswa baru sudah menghadapi angka-angka yang harus dibayar dengan nilai mencapai jutaan rupiah. Item-item itu meliputi sumbagan dana pendidikan, pembelian pakaian seragam plus pakaian olahraga, dana iuran koperasi, dana masa orentasi siswa (MOS). Jumlahnhya variatif. Biasanya, untuk sekolah yang memiliki predikat favorit angkanya selangit.
Pungutan juga sering membayang-bayangi orang tua murid setalah proses kegiatan belajar mengajar (KBM) berjalan. Misalnya, untuk pembelian buku Lembar Kerja Siswa (LKS), biaya try out (TO), biaya studi tour juga biaya pengayaan mata pelajaran menghadapi ujian.
Untuk menghindari ketatnya aturan, sekolah tidak langsung memungut atas nama sekolah. Melainkan melalui komite sekolah seperti dalam penentuan besarnya dana yang dibebankan dalam masa penerimaan siswa baru (PSB) atau melalui koperasi sekolah dalam penjualan alat-alat sekolah juga dalam biaya studi tour.
Melihat item-item di atas, jelas peluang pungutan bagi pihak sekolah masih lebar. Apalagi, jika pungutan-pungutan itu dilatarbelakangi oleh ”oknum-oknum” pejabat sekolah untuk mengambil keuntungan bagi diri sendiri. Maka tak heran, kini dengan munculnya spanduk-spanduk pengumuman sekolah gratis, masyarakat terkadang memandangnya dengan muka sinis bahkan apriori. Mereka ragu pendidikan itu benar-benar gratis.

Masyarakat Mengawasi
Apa yang semestinya dilakukan untuk mengawal realisasi pendidiakn gratis ini? Tentu, selain internal birokrasi pendidikan, pengawasan mesti dilakukan oleh masyarakat. Sebab masyarakat langsung berhadapan dengan kebijakan terkait penyelenggaraan pendidikan termasuk objek yang ”dirugikan” dengan pungutan ilegal. Akan tetapi, masyarakat juga jangan terlalu alergi atau bahkan apriori dengan istilah biaya sekolah, jika benar-benar proses pembebanan pungutan itu melalui cara yang yang benar juga sah secara aturan. Mengingat dalam Undang-Undang Sisdiknas masih terdapat klausul, biaya pendidikan bukan semata-mata tanggung jawab pemerintah, tetapi tanggungjawab masyarakat juga. Artinya partisipasi masyarakat dalam hal memenuhi kebutuhan biaya pendidikan yang berkualitas dibolehkan.
Dalam hal ini, peran komite sekolah sangat ditunggu. Jangan sampai komite sekolah terkesan dimanfaatkan saat menggolkan ”pungutan” semasa penerimaan siswa baru. Tak ada salahnya, jika momen rapat akbar orang tua murid saat PSB diisi sosialisasi panduan penggunaan dana BOS dan bukan malah membekali surat berisi item-item dan angka-angka yang harus segera dilunasi orang tua murid. Sehingga spanduk tentang ”sekolah gratis” yang kini terpasang di gedung sekolah itu benar-benar teralisasi dan bukan semata-mata selogan seperti kampanye caleg. (*)

1 komentar untuk "Menanti Realisasi Sekolah Gratis"

Amisha 24 Maret 2019 pukul 21.01 Hapus Komentar
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.