Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Minimalkan Kecurangan UN

Artikel ini telah dimuat di PIkiran Rakyat (PR) edisi Selasa, 28 April 2009
Indikasi kebocoran soal ujian nasional (UN) selalu menyertai pelaksanaan UN setiap tahun, baik setingkat SMP/MTs maupun SMA/MA. Demikian juga dalam pelaksanaan UN SMA/MA yang baru kelar pekan lalu, indikasi kebocoran soal dan kecurangan UN merebak, termasuk di Jawa Barat. Seperti yang tersiar di media massa, beredarnya kunci jawaban hampir semua mata pelajaran. Mudah-mudahan penyelenggaraan UN SMP/MTs yang mulai digelar Senin (27/04), lancar sesuai yang diharapkan.
Dari beberapa kasus indikasi kecurangan dalam UN, dapat disimpulkan beberapa motif. Pertama, siswa memperoleh kunci jawaban sebelum memasuki ruang ujian, baik melalui SMS atau melalui catatan kecil. Siswa pun diimbau datang lebih pagi ke sekolah, untuk memperoleh kunci jawaban.
Kedua, ada indikasi, guru atau yang terdiri dari "tim sukses UN" di masing-masing sekolah, membantu mengisi lembar jawaban komputer. Waktu pengisian dilakukan setelah siswa pulang, sebelum lembar jawaban disampaikan kepada dinas yang harus tiba pukul 12.00 WIB. Waktu yang diperlukan cukup luang. Ada sekitar satu hingga dua jam, sehingga memungkinkan jika dimanfaatkan untuk pengisian lembar jawaban. Informasi seperti itu beredar di antara para tim sukses UN, yang kerap kali dibantah para pengelola pendidikan.
Untuk motif kedua, tentu dirasakan lebih "aman" ketimbang motif pertama yang lebih konvensional. Hal ini, karena siswa tidak akan berceritera kepada siapa pun, karena dia merasa mengerjakan sendiri tanpa pihak yang membantu. Sedangkan jika siswa diberi kunci jawaban baik melalui SMS atau melalui guntingan kertas, biasanya tak kuasa menahan kegembiraannya untuk berbicara pada orang lain. Memang, beredarnya kunci jawaban juga tidak menjamin kebenaran. Bahkan, bisa jadi kunci-kunci itu palsu dan sengaja ada yang menyebarkan untuk membuat kekacauan.
Untuk motif lembar jawaban siswa dikerjakan tim sukses, penulis baru yakin saat menyaksikan laporan khusus di salah satu televisi swasta. Seorang guru di salah satu SMA di Kabupaten Garut mengaku diajak menyukseskan UN, meski secara prinsip dia tidak suka dengan praktik begitu. Teknisnya –masih dalam laporan itu—tim sukses menyediakan plastik transparan yang sudah diberi bulatan, sesuai dengan letak jawaban yang dianggap benar. Saat plastik dirapatkan dengan LJK yang telah dikerjakan siswa, kelihatan mana yang benar dan mana yang salah. Kalau tidak sesuai dengan bulatan hitam di plastik, segera diganti karena itu dipastikan salah. Namun, para tim sukses juga sangat hati-hati. Mereka tidak sampai membenarkan jawaban seratus persen untuk menghindari kecurigaan.
Mengapa ada praktik demikian? Lepas dari kontroversi pemberlakuan standar angka kelulusan, diakui atau tidak, angka kelulusan UN layaknya hantu yang menakutkan. Ketakutan bukan saja dirasakan siswa dan orang tua siswa, tetapi oleh pengelola pendidikan, khususnya yang langsung terkait dengan praktik pengajaran di sekolah. "Apa kata dunia" jika banyak siswa yang tidak lulus dalam mata pelajaran yang di-UN-kan. Bukan saja guru mata pelajaran yang menanggung malu, tetapi kepala sekolah, pejabat terkait, dinas terkait, bahkan daerah tertentu. Lebih jauh bila sekolah bersangkutan menyandang predikat favorit atau diembel-embeli standar, yang secara kualitas harus lebih baik daripada sekolah yang biasa-biasa saja. Lebih luas pula, rasa malu akan dirasakan dunia pendidikan secara umum. Mengingat, anggaran pendidikan yang digelontorkan negara sedemikian besar.
Ketakutan tersebut secara langsung atau tidak, bisa meneror psikologis para pengelola pendidikan. Sebab, kesuksesan kelulusan siswa dalam UN adalah tanggung jawabnya. Namun, sangat disesalkan, bila rasa tanggung jawab itu diaplikasikan dengan cara-cara yang kurang bertanggung jawab.
Tentu, semua ini jangan dikatakan satu tuduhan. Sebab, di pihak lain masih banyak sekolah yang jujur dalam pelaksanaan UN dan tidak menggadaikan kejujuran hanya untuk satu angka. Ingat, dunia pendidikan juga layaknya dunia lain, yang tidak dijamin steril dari praktik kecurangan. Dengan demikian, saat dirasakan ada ancaman, siapa pun bisa terjerumus pada tindakan rendah. Pendidik pun bisa melupakan tugas mulianya memanusiakan manusia itu.
Terima kenyataan
Untuk meminimalkan kecurangan dalam UN, kuncinya harus betul-betul kembali pada aturan serta memaksimalkan pengawasan dari tim yang kini sudah tersedia. Apalagi, mulai distribusi soal hingga pelaksanaan UN, keterlibatan aparat, pengawas, dan tim independen porsinya lebih luas lagi. Secara kasat mata, mekanisme seperti itu akan mempersempit ruang gerak siapa pun yang akan berbuat curang. Mereka harus betul-betul jeli menangkap kemungkinan di mana kecurangan itu bakal terjadi.
Lebih penting lagi, harus ada iktikad lebih serius dari pengelola pendidikan. Mereka harus berani menerima kenyataan, bahkan menanggung malu dari apa pun yang menimpa siswanya terkait hasil UN. Seburuk apa pun nilai UN, harus dimaknai sebagai konsekuensi upaya meningkatkan standar pendidikan di tanah air tercinta ini. Tanpa keberanian menerima kenyataan, berapa pun standar angka kelulusan UN dipatok oleh negara, bukannya menghasilkan kualitas pendidikan lebih baik, tetapi sebaliknya, semakin amburadul. Sebab, ekses ambisi untuk mendapat nilai yang lebih bagus itu, bisa menyeret para pelaku pendidikan di tingkat pelaksana berbuat curang bahkan bertindak munafik (hipokrit).***
Penulis, pengurus Majelis Sinergi Kalam (Masika) ICMI Orda Tasikmalaya.

Posting Komentar untuk "Minimalkan Kecurangan UN"