Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menimbang Efektifitas Perda Zakat


Sedikitnya ada lima daerah di Jawa Barat yang telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengelolaan Zakat. Yakni Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kota Bandung, Pemerintah Kabupaten Cianjur, Pemerintah Kabupaten Garut dan Pemerintah Kabupaten Karawang. Sedangkan daerah yang kini sedang menggagas menerbitkan Perda Pengelolaan Zakat, diantaranya Kota Tasikmalaya.Sangat signifikan wacana itu digulirkan kembali saat ini. Mengingat serapan zakat (khususnya zakat mal/harta) termasuk di Jawa Barat masih dalam posisi biasa-biasa. Kondisi ini dapat dilihat dari masih timpangnya rasio perhitungan potensi zakat di para aghniya dengan serapan zakat setiap tahun di Badan Amil Zakat (BAZ). Berdasarakan laporan BAZ Provinsi Jawa Barat (Pikiran Rakyat,
20/01/09) potensi zakat mal per bulan mencapai Rp75 miliar. Angka tersebut berdasarkan asumsi jika 7,5 juta kaum kaya di Jabar menyerahkan zakat Rp10.000 per bulan per orang. Sedangkan perolehan zakat di BAZ Provinsi Jabar hanya Rp8M pada tahun 2007 dan Rp9 M pada tahun 2008.

Efektifkah?
Setidaknya ada dua tanggapan terhadap Perda Pengelolaan Zakat. Pertama, tanggapan apatis. Hal ini berdasarkan argumentasi, dari sisi disiplin hukum secara nasional belum sepenuhnya mendukung terhadap totalitas pelaksanaan pengelolaan zakat. Meski diakui, diterbitkannya UU No 39 tahun 1999 tentang Penglolaan Zakat sangat membanggakan di tengah derasanya tudingan ekslusifisme Islam serta isu perda syariah. Sedikit banyak UU tersebut memberi angin segar kepada umat Islam dalam menunaikan salah satu rukun Islam yang lima diakomodir oleh negara.
Namun demikian, UU yang diterbitkan masa Presiden BJ Habibie itu masih terdapat beberapa kelemahan. Di antaranya belum singkron antara aturan wajib pajak dengan wajib zakat. Meski para aghniya menunaikan zakat, mereka tetap terbebani wajib bayar pajak. Aghniya memiliki beban ganda (doble burden) yakni bayar pajak dan zakat.
Kelemahan UU Pengelolaan Zakat juga belum mencantumkan sanksi terhadap para pengemplang zakat secara mengikat dan memaksa. Padahal salah satu kekuatan hukum, apabila di dalamnya ada sanksi atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Sanksi hanya dicantumkan bagi pengelola zakat (pengurus BAZ/LAZ) berupa denda atau kurungan penjara jika terbukti sah dan meyakinkan menyelewengkan harta zakat.
Akibatnya, UU Pengelolaan Zakat selama ini dinilai hanya mampu mendorong pembentukan Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat (BAZ/LAZ).
Mungkin dengan latar belakang seperti itu, Departemen Agama RI mengajukan revisi UU No 39/1999 tentang Pengelolaan Zakat. Salah satu usulannya, akan menghilangkan Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan pengelolaan zakat disentralisir di satu pintu. Disebutkan pula dalam materi revisi, akan memuat sanksi bagi para pengemplang zakat, termasuk akan mengurangi kewajiban membayar pajak bagi wajib zakat.
Pandangan kedua terhadap Perda Pengelolaan Zakat sangat optimis akan mampu meningkatkan daya serap zakat. Ini karena perda Pengelolaan Zakat dipandang akan lebih mempertegas UU yang sudah terlebih dahulu diterbitkan. Sebagai contoh, di Kota Cilegon sejak memiliki Perda Pengelolaan Zakat tahun 2001 perolehan zakat mengalami peningkatan signifikan. Dilaporkan, pada tahun 2000 perolehan zakat hanya Rp100 Juta. Namun pascadiberlakukan Perda Pengelolaan Zakat, tahun 2001 bertambah menjadi Rp156 juta, tahun 2002 Rp250 juta, tahun 2003 mencapai 350 juta, tahun 2004 Rp415 juta dan tahun 2005 mencapai Rp500 juta.
Hemat penulis, seandainya Perda Pengelolaan Zakat hanya untuk penegasan dan tidak dibarengi sanksi-sanksi, justru keberadaannya hanya mengulang-ulang isi undang-undang zakat yang jangkauannya lebih luas. Sehingga tidak menjamin dana zakat yang potensial itu dapat terserap secara maksimal.
Sementara, jika kemudian dalam perda mencantumkan sanksi bagi pengemplang zakat, siapa yang berhak mengeksekusi? Selama ini, pengawal perda adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Bisakah Satpol PP mengawal realisasi perda pengelolaan zakat, termasuk menangkap atau merazia para pengemplang zakat layaknya merazia para PSK atau Pedagang Kaki Lima (PKL) yang bandel.

Sinkronisasi
Melihat kondisi ini, urgensinya bukan semata-mata menerbitkan perda zakat. Namun ada pekerjaan yang lebih luas, bagaimana mendorong penataan tertib hukum menyangkut mekanisme kerja secara sinergi dengan lembaga hukum terkait secara nasional. Kalau sudah sinkron, yang menindak wajib zakat yang ngemplang adalah aparat penegak hukum. Bisa polisi, kejaksaan bahkan lebih luas Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK). Para penunggak zakat setatusnya harus disamakan dengan pengemplang pajak atau bahkan para koruptor.
Namun gagasan penerbitan perda pengelolaan zakat di beberapa daerah yang belum punya, harus tetap diapresiasi dan didorong semua pihak. Meski alangkah baiknya, pengesahannya menunggu selesai revisi UU No 39/1999. Sehingga isi perda bisa lebih disesuaikan dengan keadaan UU revisi. Kita tidak berharap, perda-perda yang diterbitkan –tidak hanya perda pengelolaan zakat— tak berdampak sama sekali. Wallohualam. (*)

Penulis, pengurus Majelis Sinergi Kalam (Masika) ICMI Orda Tasikmalaya
juga aktif di Forum Kajian Isu-Isu Strategis (FKIIS) Tasikmalaya.

1 komentar untuk "Menimbang Efektifitas Perda Zakat"

kang deden 30 Oktober 2009 pukul 06.59 Hapus Komentar
wah hebat jd penulis sukses lah