Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengajian Nasi Timbel

Baru kali ini lagi, saya mendapat sebuah bingkisan usai mengikuti pengajian syukuran. Syukuran itu diadakan seorang keluarga karena rumah barunya sudah bisa didiami. Di dalam kantung yang dibungkus kresek hitam itu terdapat nasi timbel lengkap dengan lauknya, seperti ayam goreng, tempe, tahu plus sambal terasi. Rasanya cukup enak dan menggugah selera. Jika ditaksir harganya, antara Rp10-12 ribu. Dan nampaknya nasi timbel itu oleh sohibul bait langsung didatangkan dari rumah makan khas sunda.
Bahagia sekali mendapat nasi timbel kecil itu. Padahal bila kita mau sangat mudah mendapatkan. Tinggal beli di warung-warung khas. Namun yang membuat bahagia adalah proses mendapatkannya. Nasi timbel ini didapatkan usai kami mengaji bersama-sama dalam syukuran keluarga yang sedang bahagia pula.
Awalnya saya malas menghadiri undangan tuan rumah. Namun demi menyenangkan pengundang dan warga saya pun hadir di pengajian. Saya rada telat sekitar lima menit dari undangan pukul 16.00. Di rumah cukup bagus ini sudah berkumpul warga lain yang umumnya tetangga.
Seperti biasa, tuan rumah mempersilahkan kepada ustadz untuk memimpin pengajian. Ustadzpun mulai membacakan salam dengan suara pelan nyaris tak terdengar meski sudah dibantu pengeras suara. Pengajian dimulai dengan surat Al-fatihah beberapa kali sebagai doa kepada yang masih hidup juga kepada para para almarhum. Beberapa penggalan doa kadang tak jelas ungkapan serta maknanya tidak dimengerti karena suaranya sangat pelan.
Ritual seperti mengingatan kisah seorang kawan yang didaulat memimpin tahlilan. Meski dia keluaran pondok pesantren, namun belum terbiasa memimpin doa. Katanya, pada kalimat-kalimat tertentu, cukup menghentikan bacaan yang tidak dihafal atau lupa. Dan pada kalimat yang hafal baru dijelaskan suaranya. Hadirinpun tidak menyangka bahwa doa itu berhenti akibat lupa sang ustaz. Mereka husnudzon ustadz cukup khusuk dalam berdoa. Hadirin malah terbawa suasana dan menyambut dengan “amin-amiin”. Uniknya lagi -meski si ustadz merem melek dalam berdoa- jatahnya lebih banyak dari para hadirin. Namun entah, doa yang dilantunkan ustadz sore tadi? Apakah seperti kisah teman saya atau lancar-lancar saja.
Beberapa tahun ini saya nyaris tak pernah mengikuti praktik-praktik keagamaan seperti itu dengan ragam alasan. Dan pasca pengajian sore ini saya serasa menemukan kembali kehidupan yang normal. Tentu saja semua ini terlepas dari perdebatan khilafiyah yang kini suaranya nyaris redup. Apakah boleh tahlil atau tidak, apakah boleh berdoa ramai-ramai atau tidak?. Yang jelas, dari pengajian ramai-ramai, dari tahlil atau doa bersama, secara sosiologis sangat mujarab untuk mengobati kehampaan pergaulan masyarakat modern. Minimal dari proses doa bersama, tahlilan atau kegiatan keagamaan lainnya (di luar yang menimbulkan syirik) warga bisa kembali berinteraksi, dan bertutur sapa. Bukanlah silaturahmi itu dianjurkan oleh agama?
Pengajian dalam tradisi masyarakat bermacam-macam. Ada yang sifatnya pengajian rutin seperti di masjid dan madrasah juga di lapangan terbuka. Pengajian sering dikaitkan juga dengan peristiwa tertentu sebagai sikap mensyukuri. Seperti mensyukuri pernikahan, kelahiran anak, hingga pindah rumah. Ada juga dikaitkan dengan kematian seseorang dan masyarakat menyebtunya dengan tahlilan. Menyebut tahlilan karena seringkali yang disebut-sebut adalah kalaiat tahlil bukan yang lain.
Dalam tradisi masyarakat modern, pengajian bentuknya sudah lain. Meski isinya sama mengajak manusia berbuat baik- namun tempatnya saja sudah jauh berbeda. Tak heran, ibu-ibu/bapak-bapak jamaah, berpakaian necis bermobil mentereng. Pengajian pun bisa diadakan di pusat-pusat keramaian di hotel mewah atau di gedung layaknya pesta pernikahan. Demikian juga bayaran ustadnya, bisa melebihi honor satu tahun ustadz mushola di pinggiran kota. Fenomena tersebut sudah ditengarai, sebagai bentuk bangkitnya rasa spiritualisme masyarakat perkoataan.
Kembali pada tahlilan, penulis punya pengalam yang tak terlupakan sewaktu KKN di daerah Sleman sekitar tahun 2003. Hampir setiap malam Jumat, saya dan rekan-rekan kelompok KKN mendapat undangan tahlilan. Tradisi seperti itu, di daerah Yogyakarta, Jawa tengah dan Jawa Timur sangat kental. Kematian seseorangpun diperingati hingga ribuan hari.
Undangan tahlilan bagi saya dan sekelompok KKN sangat dinantikan. Biasanya, usai tahlilan, dibekali banyak oleh-oleh. Belum lagi makanan yang habis bersama jamaah di rumah sohibul bait.
Biasanya usai membaca Surah Yasin dan dzikir, hadirin disuguhi makanan ringan. Mulai ranginang, kue-kue, kulub cau, seupan sampe hingga makanan yang kurang dikenal dihadirkan plus teh manis hangat. Makanan pembuka belum habis, tamu sudah disuguhi dengan nasi soto atau opor ayam plus lontong. Meski sudah kenyang, terpaksa harus dimakan.
Tak cukup di situ. Saat pulang, tamu diberi bingkisan. Biasanya didalamnya terdapat nasi beras biasa, nasi ketan yang dibentuk bulat, kulub sampeu plus lauk pauk. Seperti rebus telor, rendang ayam meski hanya tulangnya. Bahkan kalau tingkat ekonomi sohibul bait mapan, dalam bungkusan ditambah mie instan, beras sekitar satu gelas, teh plus gula setengeh kilo.
Nah, usai tahlilan seperti itu, anggaran belanja makan sehari-hari di pondokan KKN cukup terbantu. Waktu itu anggota KKN satu kelompok saya delapan orang. Kalau dibekali mie instan masing-msing dua, berarti sudah ada mie instan 16 bungkus. Demikian juga teh ada delapan bungkus cukup untuk dua minggu dan gulanya terkumpul empat kilo. Bersama teman sering berseloroh, sering-seringlah pengajian atau tahlilan biar ngirit. Apalagi undangan pengajian seperti itu bisa menjadi salah satu laporan kegiatan di lokasi KKN. Tinggal foto kemudian lampirkan dalam berkas laporan. Bisa membantu nilai jadi A.
Tradisi tahlilan, khususnya di darah Yogyakarta sudah sangat berkembang akibat proses akulturasi dengan budaya lokal. Saya sering mengikuti prosesi tahlilan yang sangat unik. Ketika itu saya baru dua bulan ngekos di daerah Gendeng Kec. Baciro Yogyakarta, sekitar 5 kilometer dari Malioboro. Saya diajak oleh rekan-rekan takmir masjid untuk ikut tahlilan di kediaman almarhum Jendral Ahmad Yani, di Jalan Timoho, berdekatan juga dengan Kampus APDN.
Waktu itu untuk memperingati almarhum isteri Jenderal Ahmad Yani yang kesekian ribu hari. Saya pun memutuskan ikut, itung-itung memperkenalkan diri dan mengenal lokasi.
Setibanya di lokasi, suasana cukup ramai. Jamaah menggunakan pakaian serba putuh khusuk menunggu dimulai ritual. Seperti bisa, tahlilan dimulai dengan doa-doa dan Al-fatihah. Dalam prosesi itu tak ada yang menarik dalam hati saya. Semuanya biasa-biasa saja. Namun di tengah-tengah ritual yang cukup lama ini, pemimpin acara mempersilahkan, agar para hadirin di sebelah kiri membaca Lailahaillaloh. Sedangkan hadirin di sebelah kanan melantunkan syair-syair berbahasa Jawa. Konon syair itu karya Sunan Kalijaga yang namanya diabadikan salah satu pergurun tinggi Islan, IAIN Sunan Kalijaga yang kini berganti nama menjadi UIN Sunan Kalijaga. Waktu itu rekan-rekan sering menyebut IAIN Sukijo (singkatan dari Sunan Kalijogo).
Dalam prosesi inilah suasana cukup ramai. Apalagi syair-syair yang dilantunkan diiringi dengan tabuhan gemelan yang cukup keras. Sementara yang lain membacakan kalimat Lailahaillaloh dengan nada tertentu tanpa henti dn menghentak. Awalnya saya kaget. Namun perlahan mengerti, inlah tradisi Islam saat berpadu dengan tradisi Jawa yang salah satunya dikenalkan Sunan Kalijaga. Anggota walisongo ini terkenal dengan kemahirannya berdakwah menggunakan media wayang dan kisah-kisah uniknya. Bahkan hingga kini, syair Tombo Ati (Obat Hati) dengen mudah dilafalkan semua kalangan, mulai artis hingga anak–anak.
Usai pengjian, hadirin diberi bingkisan berupa cenderamata yang terbuat dari piring keramik bertuliskan tanggal wafat almarhum. Demikian juga kue-kue serta amplop dan bingkisan lain yang bentuknya variasi.
Namun dalam pengajian tadi sore, saya tidak menemukan hal-hal yang unik. Semuanya berjalan seperti biasa. Membaca Al-fatihah, Ayat Kursi serta membaca Surah Yasin. Usai pengajian, hadirin mendapat bingkisan nasi timbel. Setelah tiba di rumah sayapun membuka nasi timbel itu dan menyantap dengan lahap. ”Sering-seringlah ada pengajian seperti ini”. **

Posting Komentar untuk "Pengajian Nasi Timbel"