Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lupa Waktu, Tenggelam ke Masa Silam Jakarta di Kota Tua

Salah satu objek wisata sejarah yang paling mengasyikan di Jakarta bagi saya sebuah cagar budaya Kota Tua. Bagaimana tidak, bila selama ini kita kenal dengan gemerlap kota metropolis yang tak pernah mati selama 24 jam, memasuki Kota Tua serasa berkunjung ke masa lampau, menyelam ke dasar peradaban ratusan tahun silam.
Baru satu kali saya berkunjung ke Kota Tua ini. Waktu itu pertengahan tahun 2012 seusai menghadiri gathering jurnalis se-Jawa Barat dan Banten dari Bank Indonesia.

Salah satu koleksi museum Museum Sejarah Jakarta Kota Tua- Jakarta
/Dok Pribadi
Saya masuk melalui pintu gerbang sebelah selatan. Di kiri terlihat Museum Bank Indonesia berseberangan dengan Museum Bank Mandiri dengan arsitektur megah khas Belanda. Sehari sebelumnya saya sempat memasuki museum Bank Indonesia itu bersama rombongan.
Sejak pintu gerbang, di kiri-kanan berjejer gedung-gedung arsitek khas neo skolastik, abad 16-17. Selang puluhan meter di sebelah kanan, terdapat lapangan yang  cukup luas. Di depan lapangan itulah berdiri megah Museum Sejarah Jakarta atau terkenal dengan Museum Fatahillah. Kompleks ini termasuk Jalan Pintu Besar Utara.
Menurut brosur yang diberikan petugas, museum pada masa kemerdekaan bernama Museum Djakarta Lama di bawah naungan Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI). Selanjutnya pada tahun 1968 Museum Djakarta Lama diserahkan kepada Pemda DKI dan pada tanggal 30 MAret 1974, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin meresmikan gedung ini menjadi Museum Sejarah Jakarta.
Beberapa meriam zaman dulu terpasang kokoh di depan museum, semakin mengesankan kegagahan kantor ini tempo dulu. Gedung yang pada tahuan 1707-1710 sebagai bangunan Balai Kota ini, konon kabarnya, gaya arsitekturnya persis bangunan Istana Dam di Amsterdam. Terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai sebagai penjara.
Sebelum masuk, saya sempat keliling menghabiskan kepenasaran saya akan kota eksotik ini. Ternyata ada juga museum lain, diantaranya Museum Wayang. Dari bagunan yang kurang terawat itu, terdengar suara gamelan Jawa menambah kesan jadul.
Di pinggir lapangan banyak sekali sewaan sepeda perempuan dengan aksesories topi khas noni-noni Belanda, berwarna putih atau krem. Tak cukup di situ, mata saya terpesona batu balok hitam yang menjadi lantai sepanjang jalan, ukuran 20 cm X 30 cm.
Cafe Batavia/dok pribadi
Untuk kuliner, banyak sekali yang menjual makanan tempo dulu, seperti makanan khas Betawi, termasuk angkringan khas Jogjakarta dengan berbagai aksesoriesnya. Say ajuga melihat kafe tempo dulu, bertuliskan Café Batavia. Di kafe ini pengunjungnya banyak turis bule, mereka konkow sambil menyaksikan kemeriahan suasana.
Sayang, karena terlalu banyak penjual, wajah Kota Tua sedikit murung, sampah berserakan di mana-mana, selokan banyak genanangan air kotor. Demikian juga bangunan banyak tidak terawat. Atap-atapnya bolong, dinding terkelupas dan pintu-pintu lapuk. Seandainya direkunstrikasi tanpa meninggalkan bentuk bangunan asli, mungkin Kota Tua ini akan menjadi destinasi wisata sejarah di Indonesia nomor wahid.
Memasuki Gedung Museum Sejarah Jakarta kebetulan masih gratis. Begitu masuk pintu utama, di sebelah kiri terlihat tiga patung, dua patung sedang dieksekusi mati di tali gantungan, satu lagi sebagai tentara membawa pedang. Banyak pengunjung yang mengabadikan momen pemandangan yang agak ngeri itu. Kebetulan saya jalan sendiri, terpaksa minta bantuan kepada pengunjung lain yang memerlukan bantuan mengabadikan moment.
Dari ruangan ini, ada pintu lansung menuju ruang utama, dengan teras tangga sekitar satu meter. Bisa juga menuju lantai dua melalui tangga kayu jati yang kokoh sebelah kanan. Bila masuk ke ruangan sebelah kiri, di sini terdapat  berbagai hiasan ukiran dari bahan kayu Jati. Menuju ruang berikutnya, pengunjung dapat menemukan kamar tidur para pejabat dulu dengan ranjang dari anyaman rotan.  
Melihat jendela dan pintu antara satu ruangan dengan ruangan lain, terlihat sangat lebar. Yang unik lagi, bila melihat langit-langit gedung yang dijadikan lantai dua, ternyata menggunakan bahan kayu, termasuk semua lantai dua terbuat dari papan kayu.
Memasuki lantai dua, ruangan sangat tinggi dan lebar. Dari lantai ini saya dan pengunjung lain menyaksikan lapangan sesak dengan pedagang dan pengunjung.  Di sini ornamen tempo dulu masih utuh, seperti hiasan kayu, kursi pertemuan, lemari-lemari, bahkan cermin besar masih terpasang.
Penulis berfoto di belakang museum/dok pribadi 
Sayang, memasuki museum Sejarah Jakarta itu  sudah sore. Jam menunjukkan hampir pukul lima, petugas sudah mengingatkan agar pengunjung segara keluar karena pintu segera ditutup. Saya keluar melalui pintu belakang dan di sana ada lapangan kecil seukuran 3 kali lapangan basket. Tepat di bawah tangga pintu keluar belakang itu, terdapat ruang lembab dan gelap. Rupanya ini tempat para tahanan zaman dulu dipenjara.
Beberapa pengunjung sangat antusias melihat ruangan pengap ini. Saya mencoba membayangkan bagaimana para tahanan dulu bisa merasakan pengapnya penjara bawah tanah itu. Di luar gedung keramaian Kota Tua semakin terasa meriah.
Sayang saya juga tidak bisa menghabiskan waktu hingga malam, karena harus segera pulang ke Tasikmlaya sore itu juga. Jika terlalu malam, kawatir ketinggalan Bus, mengingat dari lokasi kota tua harus naik satu kali bis ke terminal.
Waktu hanya beberapa jam di Kota Tua begitu singkat, tenggelam pada masa silam Jakarta yang mempesona. Bayangan saya betapa meriahnya di pusat kota ini zaman dulu, pesta  para  pejabatnya, kegenitan para noni-noninya serta seramnya para penjaga kemanan kempleks perkantoran itu.
Yang harus diperhatikan memasuki destinasi ini, pengunjung tidak mudah menemukan kamar kecil yang nyaman atau mushala yang representatif. Yang saya temui tulisan WC, kamar mandi dan mushala di pojok-pojok gedung yang sudah kumuh dengan penjaga yang agak seram. Waktu shalat, saya menemukan masjid di kompleks perkantoran, melintasi jalan, sekitar 300 meter dari lokasi Kota Tua.
Dari sisi akses transportasi, menuju museum ini sangat mudah. Tak jauh dari Kota Tua, terdapat Stasiun Kota yang menghubungkan transportasi ke berbagai daerah dengan Kereta Api, juga halte busway dan jalan raya yang dilewati bus kota. Antara lain menuju terminal lebak Bulus, menggunakan Metro Mini dan menuju Terminal Kampung Rambutan menggunakan Bis Mayasari Bhakti. Menuju dua terminal tersebut hanya satu kali naik.
Sayapun tergesa-gesa menuju lintasan Metro Mini, sambil mengenang pesona Kota Tua yang telah menceritakan kisah berabad-abad Jakarta dengan segudang interpretasi yang membekas dalam pikiran setiap pengunjungnya. (*)  

Suasana museum Sejarah Jakarta lantai 2/dok pribadi 

Gedung Museum Sejarah Jakarta dari depan/dok pribadi
Salah satu sudut Kota Tua/dok pribadi







2 komentar untuk "Lupa Waktu, Tenggelam ke Masa Silam Jakarta di Kota Tua"

Mohamadekonugroho 4 Desember 2012 pukul 10.39 Hapus Komentar
Min tolong masukkan di blog.. screen shoot bukti twitt follow VIVA_log, enjoyjakarta, dan bukti postingan anda telah di twitt anda. Untuk tahapan berikutnya silahkan kirim data diri, alamat tempat tinggal, dan no telpon yang bisa dihubungi ke alamat email yang tertera dibawah.

Terima kasih,
VIVAlog
eko.nugroho@viva.co.id
autoklik 4 Desember 2012 pukul 14.16 Hapus Komentar
oky deh langsung meluncur