Kisah 1001 Malam Inspirasi untuk Pemimpin Kecilku
Satu cita-cita yang kami tularkan kepada kedua putriku,
menjadi seorang penulis. Meski kami menyadari, cita-cita tidak bisa ditularkan,
cita-cita harus berdasarakan kesadaran kognitif anak sehingga benar-benar bisa
mewujudkannya. Selain cita-cita itu kami tidak pernah mengajarkan cita-cita
yang lain. Misalnya jadi dokter, pilot atau pramugari, layaknya cita-cita
nge-tren yang sering disebutkan anak-anak setiap zaman.
Mengapa cita-cita menulis? Ada beberapa jawaban yang bisa dinalar.
Pertama, menulis tidak terikat oleh suatu pekerjaan. Apapun profesinya, seseorang
bisa menjadi menulis. Seorang guru, dosen, juga petani bisa menuliskan
pengalaman mengajar atau bertaninya juga bisa menginspirasi orang lain, tanpa
meninggalkan pekerjaan yang sudah dilakoninya.
Kedua, menulis tidak memiliki syarat pendidikan atau strata tertentu.
Menulis pekerjaan yang sangat demokratis. Siapapun orangnya, latar belakang
apapaun pendidikannya, boleh berkecimpung dalam dunia tulis menulis. Sekedar
berbagi ide, gagasan serta pengalaman yang dapat menginspirasi public.
Tentu saja saya dan isteri menyadari bahwa sebagai orang
tua, tidak berhak menentukan cita-cita anak untuk jadi ini atau itu. Tugas orang
tua mendidik, mengarahkan, apa yang mesti dilakukan supaya anak-anak menjadi pemimpin
masa depan dalam berbagai perannya hingga akhirnya merekalah yang mengambil
pilihan.
Saya teringat puisi sang penyair legendaris dari Libanon, Kahlil
Gibran. Ia mengungkapkan.
“Anakmu bukanlah anakmu
Mereka adalah putra-putri kehidupan yang
rindu dirinya sendiri
Mereka lahir melalui engkau, tapi bukan
dari engkau
Dan meskipun mereka bersamamu, namun
mereka bukanlah milikmu
Hal senda dengan ungkapan Imam Ali Bin Abi
Tholib”
“Muliakanlah keluarga dan anak-anakmumu, karena mereka sayap
untuk menerbangkanmu, tempat asal kepulanganmu dan tanganmu untuk mencapai keinginanmu.
Hadiahkanlah ciuman untuk anakmu sesering mungkin karena sesungguhnya
ciuman anakmu syafakah dari muhibah kepada Tuhanmu
Didiklah anakmu karena mereka akan menemui masa yang bukan zamanmu.”
Cukup mengejutkan saya ketika putriku yang pertama
menyebutkan cita-citanya di masa depan, ingin menjadi penulis. Ia memasuki usia
enam tahun, kini sekolah di Taman Kanak-Kanak (TK). Entah apa maksud cita-cita
menjadi penulis menurut pengatahuannya. Mungkin yang ia tahu, menjadi penulis
karena dia sering melihat saya duduk di depan laptop jadoel, sambil jari
mengetik di tuts keyboard.
Sesekali ia juga menengok layar laptop hasil tulisan saya
sambil membacanya perlahan. Setiap hari, ia
melihat saya sibuk sendiri tak peduli anggota keluarga lain sibuk
mencari pulpen atau mainan kesayangan anak-anak yang hilang.
Tulisan saya biasa saya kerjakan, seputar laporan berita,
atau tulisan ringan untuk di blog, artikel di Koran, atau tulisan untuk
diikutsertakan dalam lomba. Suatu kata bijak mengumumkan, “buah tidak akan
jauh dari tangkainya”. Ketika putriku sering melihat orang orangtuanya melakukan
sesuatu pekerjaan berulang-ulang, ia ingin mencoba menirunya bahkan ingin
menjadi apa yang ia lihat dan dengar.
Sekedar upaya, kadang-kadang saya bercerita kisah-kisah inspiratif
yang masih dijangkau akal anak-anak seusianya. Misalnya tentang kisah 1001
malam yang melegenda itu. Salah satu tokoh sudah anakku kenal, Aladin dam lampu
ajaibnya, Abu Nawas, Simbad si pelaut dengan kisah 7 kali pelayarannya yang mendebarkan.
Dari kisah itu sedikit banyak putriki memahami bahwa hidup
ini penuh perjuangan. Ketakutan terhadap gelombang lautan tidak hanya dirasakan
ketika melaut, tetapi di setiap sesi kehidupan di manapun mengarunginya. Ombak ibarat rintangan dan lautan ibarat luasnya
kehidupan. Siapapun yang berani hidup, ia harus berani menghadapi ombak, gelombang
dan badai.
Selain mendengarkan kisah-kisah imajinatif, ternyata putriku
juga memiliki bakat dalam melukis. Pernah suatu saat, ia melukis saya yang
sedang berjalan, berkacamata dan bersarung bahkan beberapa kali sempat menjadi juara
lomba melukis. Dalam melukis, ibunya yang memasukkan putriku les melukis setiap
hari sabtu usai sekolah.
Benar, bahwa anak-anak mengimajinasi apa yang dia lihat dan
apa yang ia dengar. Pantas para ahli menyebutkan, usia tersebut merupakan golden
age yang mesti diperhatikan baik perkembangan otaknya melalui asupan nutrisi
yang seimbang juga asupan mental yang benar.
Untuk urusan makanan, isterku sangat perhatian. Meski bukan
makanan yang mewah, minimal mencukupi kebutuhan nutrisi yang mereka butuhkan terutama
perkembangan otaknya.
Kami juga perlahan mengajarkan etika, bagaimana berjalan di hadapan
orang banyak dalam adat Indonesia yang harus membungkukkan badan sedikit supaya
tidak diangap tidak sopan di samping mengajarkan ritual keagamaan yang dianut keluarga.
Perlahan kami juga melatih anak-anak bagaimana minum dan makan yang baik, berdoa,
bersyukur atas apa yang didapat hingga mengajarkan cara bertanya atau menjawab
pertanyaan dari orang lain.
Sejak dini, saya dan isteri mengenalkan kepada anak-anak hak
dan kewajiban. Jangan coba-coba mengambil barang orang lain di manapun berada
baik terlihat atau bersembunyi. Jika tidak memiliki suatu barang mainan kami sarankan
bersabar hingga suatu saat diberi rizki segera membelinya jika memang urgen untuk
dimiliki.
Kami berkeyakinan, sejak usia dinilah masa yang tepat untuk mengajarkan
tidak coba-coba mengambil hak orang lain dengan cara apapun. Bukankah tindakan korupsi
yang menyengsarakan rakyat dan Negara kini akibat keinginan memiliki hak orang
lain tanpa kendali. Tak peduli halal atau haram yang penting keinginan sendiri
terpenuhi. Jika putriku jajan ke warung
dan ternyata ada uang kembalian, mesti diketahui berapa kelebihannya. Setelah itu
bisa diberikan atau diambil karena memang ia tidak membutuhkan.
Kembali pada cita-cita di atas, kami berharap anakku menjadi
penulis yang jujur, taat terhadap moral dan etika. Di manapun mereka berada,
hakikatnya menjadi seorang pemimpin minimal untuk dirinya dan teladan bagi ligkunga
sekitarnya.
Tentu harapan lebih luas, kejujuran, saling menghargai, beraklaq
baik itu bisa dimiliki semua orang hingga pada akhirnya menjadi satu kesatuan, sebuah
komunitas yang sangat massal. Mereka, anak-anak inilah kelak menjadi penerus
bangsa dan Negara, menjadi seorang pemimpin sesuai kapasitas dan perannya masing-masing.
Semoga. (*)
Posting Komentar untuk "Kisah 1001 Malam Inspirasi untuk Pemimpin Kecilku"
Silahkan bertanya atau mau komentar...!!!