Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Destigmatisasi, Upaya Menghormati Hak Sehat ODHA

Setidaknya ada dua pandangan berbeda dalam memperlakukan orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Pandangan pertama, menempatkan orang terinfeksi HIV/AIDS serba negatif. Ini karena paradigma umum, bahwa ODHA adalah mereka yang berpergaulan bebas atau memiliki latar belakang nagatif yang berisiko tinggi terjangkitnya HIV/AIDS. Seperti seks bebas atau para pengguna narkoba terutama media jarum suntik.


Dari pandangan ini muncul asumsi tak manusiawi, ODHA tak layak dikasihani karena penyakit itu merupakan kutukan atas perbuatan ”tercelanya”. Dengan pandangan negatif itu pula, tak jarang orang-orang terdekat dengan ODHA, termasuk keluarga sekalipun merasa punya aib kalau di keluarganya terdapat ODHA. ODHA pun tak lagi mendapat perlakuan semestinya sehingga secara psikologis akan semakin menderita. 

Kedua pandangan simpatik. Pandangan ini menempatkan ODHA sebagai manusia yang harus dikasihani dan mendapat simpati dari semua kalangan. Apalagi melihat realitas, banyak orang yang tertular HIV/AIDS berlatar belakang perilaku tidak berisiko. Mereka tiba-tiba sakit keras dan setelah didiagnosa positif HIV/AIDS.

Misalnya, seorang ibu-ibu tertular dari suaminya atau seorang anak tertular dari ibunya saat dilahirkan. Secara perilaku, dalam kasus tertular seperti itu, mereka tidak melakukan perbuatan negatif yang berisiko terkena HIV/AIDS. Ia hanya kebetulan hidup pada orang yang terkena HIV/AIDS yang itu bukanlah kemauan dirinya.

Kini cukup membahagiakan, banyak kelompok, organisasi yang peduli terhadap penderita HIV/AIDS, baik yayasan atau LSM dalam dan luar negeri. Sebagian ODHA pun hidup dalam pandangan positif serta beraktifitas normal. 

Dua pandangan berbeda di atas, secara tidak langsung menujukkan tingkat pemahaman masyarakat terhadap HIV/AIDS sangat kurang. Banyak orang berpandangan, virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia itu menular dengan mudah melalui media apapun, termasuk bekas minum ODHA bahkan hanya berjabat tangan.

Informasi seperti itu sungguh mengerikan. Eksesnya, ODHA ditakuti layaknya hantu. Jangankan diberi simpati, didekati ODHA pun tidak mau. Diharapkan, dengan mudahnya akses informasi yang sedemikian masif hingga pelosok pedesaan saat ini, informasi yang menyesatkan tentang HIV/AIDS akan terkurangi.


Diakui, penyebaran HIV/AIDS kini sudah masuk pada tahap membahayakan keberlangsungan hidup umat manusia. Setiap hari orang terinveksi dan satu persatu terbunuh. Namun sayang, kesadaran memeriksakan kesehatan masih kurang disadari masyarakat kita. Memeriksakan diri baru dilakukan bila penyakit dirasakan parah dan cepat-cepat mencari mendiagosa.

Memang biasanya, orang mau memeriksakan kondisi kesehatannya ketika penyakit sudah kadung parah. Maka tak heran jika data-data penderita HIV/AIDS yang mucul ke permukaan, hanyalah fenomena gunung es. Sedangkan akarnya, yang jumlahnya lebih banyak tidak terlihat sama sekali. 

Mengurangi penularan HIV tidak semata-mata tanggungjawab orang yang sehat atau ODHA. Perlu kesadaran semua pihak. Namun ironiosnya, meski upaya pengurangan terus dilakukan, setiap tahun jumlah penderita HIV/AIDS terus meningkat secara pantastis termasuk yang meninggal.

Fakta Tentang HIV/AIDS

Menurut data Kemenkes RI, dari Januari sampai dengan Maret 2012 jumlah kasus baru HIV yang dilaporkan sebanyak 5.991 kasus. Persentase kasus HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun atau 75,4%, diikuti kelompok umur 20-24 tahun 15,0%  dan kelompok umur lebih dari 50 tahun 4,8%.

Rasio kasus HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 1:1. Persentase faktor risiko HIV tertinggi adalah hubungan seks tidak aman pada heteroseksual sebanyak 46,6%, penggunaan jarum suntik tidak steril pada Penasun 12,6% dan Lelaki Seks Lelaki (ISL) sebanyak 6%.
Kasus AIDS Januari sampai dengan Maret 2012  sebanyak 551 kasus. Persentase kasus AIDS tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun sebanyak 35,2%, diikuti kelompok umur 20-29 tahun 30,9% dan kelompok umur 40-49 tahun 15,6%. Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Jumlah kasus AIDS tertinggi dilaporkan dari Provinsi Bali 154, Jawa Barat 104, Jawa Timur 65 dan Sulawesi Selatan 56.

Persentase factor risiko AIDStertinggi adalah hubungan seks tidak aman pada heteroseksual 77%, penggunaan jarum suntik tidak steril pada Penasun 8,5%, dari ibu positif HIV ke anak 5,1% dan Lelaki Seks Lelaki (LSL) sebanyak 2,7%.

Untuk pelayanan, hingga Maret 2012 sudah tersedia layanan HIV-AIDS di Indonesia sebanyak 500 layanan konseling dan Tes HIV Sukarela (KTS), termasuk Konseling dan Tes HIV yang diprakarsai oleh Petugas Kesehatan (KTPK). Di dalamnay terdapat 327 layanan PDP (Perawatan, Dukungan dan Pengobatan) yang aktif melakukan pengobatan ARV, terdiri dari 237 RS Rujukan PDP (induk) dan 85 satelit.

Sebanyak 77 layanan PTRM (Program Terapi Rumatan Metadon), sebanyak 194 Layanan Jarum Suntik Steril (LJSS) di Puskesmas, sebanyak 643 layanan IMS (Infeksi Menular Seksual), sebanyak 90 layanan PPIA (Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak) dan sebanyak 223 layanan (kolaborasi) TB-HIV.

Menurut data Komisi Penanggulangan Aids Nasional (KPAN) jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia hingga Maret 2008 mencapai 200 ribu orang.  Sedangkan menurut laporan UNAIDS, pada tahun 2001 diperkirakan sebanyak 21 juta penduduk dunia meninggal akibat HIV/AIDS. Kini penderita HIV/AIDS di seluruh dunia diperkirakan lebih dari 40 juta orang lebih. 

Perlu mendorong semua pihak, baikODHA dan lingkungan terdekatnya agar mendukung upaya sehat ODHA, baik secara moril maupun pengobatan.  Perlu juga cara pencegahan penularan virus HIV/AIDS. Misalnya dalam hubungan seksual ODHA harus menggunakan kondom, meski efektifitasnya masih jadi perdebatan.

Masa perawatan di rumah sakit, diskriminasi masih dikabarkan sering terjadi. Misalnya dengan perlakuan khusus serta ruang yang kerapkali dibedakan dengan pasien penyakit biasa yang secara tidak langsung menambah derita psikologis pasien ODHA

Maka yang paling praktis saat ini dilakukan, selain perawatan secara medis juga dorongan psikologis agar ODHA memiliki semangat hidup. Perlu juga penyebaran informasi pengatahuan secara massif kepada seluruh lapisan masyarakat. Informasi itu menyangkut bagaimana proses penularan HIV/AIDS juga kesadaran agar menjauhi perilaku berisiko. 

Berbagai Pendekatan 


Berbagai pendekatan juga perlu dilakukan, termasuk pendekatan agama dan budaya. Meski orang banyak apriori terhadap pendekatan ini, setidaknya perlu dicoba. Misalnya, tokoh agama dan tokoh budaya kembali menginternalisasi ajaran masing-masing agama atau  budayanya, bahwa berhubungan seksual bukan dengan pasangan yang sah (zina). Demikian juga menyalahgunakan narkoba baik melalui jarum suntik maupun media lain merupakan perbuatan dosa yang juga dilarang karena akan merusak kesehatan. 

Pendekatan lain pun harus dilakukan. Misalnya, memberi kesadaran kepada siapapaun termasuk yang berperilaku berisiko agar lebih cepat mengatahui apakah dirinya tertular virusHIV/AIDS atau tidak? Seandainya yang bersangkutan sudah tertular HIV/AIDSdiharapkan lebih hati-hati supaya tidak menularkan pada orang lain termasuk orang-orang yang dicintainya.

Tak kalah pentingnya, pendekatan politik dan kekuasaan dengan melibatkan para pemilik kebijakan. Misalnya DPRD dan pemerintah masing-masing daerah mengelokasikan anggaran APBD I/APBD II untuk membiayai sosialisasi mencegahan penyebaran HIV/AIDS juga biaya perawatan para ODHA. Political will ini penting ditingkatkan, mengingat masih banyak daerah yang belum memandang persoalan HIV/AIDS merupakan ancaman terhadap warga daerahnya. 

Semua pendekatan di atas diharapkan terintegrasi serta berjalan pada wilayah masing-masing di samping terus mencari pendekatan yang lebih efektif serta manusiawi dalam mengurangi angka penyebaran HIV/AIDS tersebut. (*)


2 komentar untuk "Destigmatisasi, Upaya Menghormati Hak Sehat ODHA"

Unknown 20 Desember 2014 pukul 20.32 Hapus Komentar
selamat malam, maaf mengganggu. saya melihat blog anda dan ingin meminta bantuannya. saya inatsa dari psikologi upi sedang melakukan penelitian tentang orang yang menikah dengan ODHA. Kenal sama orang yang menikah dengan ODHA? Boleh minta bantu sebarin kuesioner saya? Atau kalau anda sendiri menikah dengan ODHA boleh minta kesediaannya untuk mengisi kuesioner saya?
Unknown 20 Desember 2014 pukul 20.32 Hapus Komentar
selamat malam, maaf mengganggu. saya melihat blog anda dan ingin meminta bantuannya. saya inatsa dari psikologi upi sedang melakukan penelitian tentang orang yang menikah dengan ODHA. Kenal sama orang yang menikah dengan ODHA? Boleh minta bantu sebarin kuesioner saya? Atau kalau anda sendiri menikah dengan ODHA boleh minta kesediaannya untuk mengisi kuesioner saya?