Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Realisasi BOS, Samakan Data Gakin

Oleh: Anep Paoji

Secara prinsip, menggratiskan biaya pendidikan sekolah dasar (SD) dan SMP tidak ada persoalan. Apalagi, kini sudah direalisasikan penambahan dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) yang peningkatannya cukup signifikan sejak awal 2009. Praktis kondisi sekarang, sekolah tidak boleh lagi memungut dana dari orang tua murid. Orang tua murid hanya dibebani pembiayaan siswa yang sifatnya pribadi. Seperti alat tulis, buku tulis, uang saku dan lain-lain. Sedangkan biaya iuran bulanan, biaya ujian sudah ditanggung oleh pemerintah. Bahkan aturan lebih tegas. Bila ada sekolah yang memungut biaya padahal sudah terkaper dana BOS, sekolah tersebut harus diberi sanksi.
Namun demikian persoalan masih ada. Salah satunya terkait penggratisan siswa di SD/SMP dan sederajat dengan embel-embel sekolah swasta juga Sekolah Bertarap Internasional (SBI) dan rintisannya. Di sekolah tersebut, hanya menggratiskan siswa miskin. Ada juga yang menambahkan ”menggratiskan sekolah bagi siswa miskin berprestasi”. Artinya, bagi siswa yang orang tuanya dinilai mampu, di sekolah swasta, SBI masih boleh dibebani.

Kategori Miskin
Di tanah air, ada dua lembaga yang diakui otoritasnya dalam menentukan keluarga miskin, prasejahtera atau sejahtera. Yakni Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Kedua lembaga tersebut sama-sama memiliki kekuatan penuh karena sama-sama dimiliki pemerintah atau plat merah.
Namun meski keduanya memiliki otorits yang diakui, ternyata masih memunculkan persoalan ketika hanya salah satu produknya dijadikan acuan pengambilan kebijakan. Di antaranya terkait data untuk pemberian Bantuan Tunai Langsung (BLT). Eksesnya, pemberian BLT pada gakin bukan malah membuat masyarakat tentram, tetapi menimbulkan kekisruhan akibat konflik di akar rumput.
Dalam pemberian BLT tersebut, pemerintah hanya berpedoman pada kriteria gakin menurut data BPS. Sedangkan kebanyakan warga bahkan aparat RT/RW hingga kelurahan dan kecamatan, menilai keluraga miskin dari kenyataan yang ada di lapangan juga apa yang terlihat secara kasat mata.
Kelemhan data BPS di atas lantaran metode pengumpulan data gakin berdasarkan sampling atau acak. Ini berbeda dengan data yang dikaluarkan BKKBN yang dinilai lebih falid dalam mentukan jumlah penduduk miskin, pra sejahtera atau sejahtera. BKKBN akan tahu jumlah warga miskin di daerah tertentu. Ini mengingat BKKBN mendata langsung secara individu yang dikumpulkan melalui pemerintah daerah, kota atau kabupaten. Tentu saja kota dan kabupaten berdasarakan data hasil laporan kecamatan, kelurahan, RW juga RT yang sehari-hari bergaul dengan objek pendataan.
Sebagai contoh lagi, data keluarga miskin di Indonesia menurut versi BPS sebanyak 16,6 persen pada tahun 2004. Sedangkan menurut data BKKBN pada tahun yang sama sebanyak 30 persen dari jumlah penduduk. Dari data seperti ini saja, data gakin versi BKKBN lebih besar jumlahnya ketimbang BPS. Akibatnya –karena yang digunakan dalam pembagian BLT data BPS—banyak keluarga miskin yag tidak kebagian jatah BLT.
Perbedaan ini karena perbedaan indikator menentukan miskin. Misalnya; indikator BPS, penduduk miskin adalah mereka yang memiliki penghasilan di bawah Rp180 ribu per bulan. Sedangkan indikator internasional yang juga digunakan BKKBN, termasuk miskin adalah orang yang berpenghasilan di bawah Rp300 ribu per bulan. Dari sini saja dapat difahami, jika BPS memiliki data lebih sedikit gakin.
Lantas bagaimana kalau dualisme data tersebut diterapkan untuk kebijakan di dunia pendidikan? Siapa siswa miskin, siapa siswa yang orang tuanya kaya? Lantas siapa yang masih harus bayar dan siapa yang tidak boleh dipungut?

Perlu Satu Kesepakatan
Jika dua indikator kemiskinan yakni versi BPS dan versi BKKBN tidak bisa dikomrpomi, harus ada salah satu yang diambil. Apakah menggunakan versi BPS atau BKKBN. Namun mengambil masing-masing versi miskin harus melalui kesepkatan nasional dan difahami oleh seluruh masyarakat. Sehingga tidak memunculkan kecemburuan sosial serta perasaan diskriminatif antara yang biaya pendidikannya digratiskan --karena termasuk miskin-- dan siswa yang masih bayar --karena masuk kategori kaya-.
Namun untuk menunggu “konvensi” nasional, tentu membutuhkan waktu tak cepat. Padahal kebutuhan itu sangat mendesak. Maka disini harus dikembalikan kepada pemerintah daerah, bupati atau wali kota. Misalnya, jika di Jawa Barat menyepakati data gakin yang digunakan dari BPS atau BKKBN, itu harus disepakati oleh semua sekolah, yang dalam hal ini SBI (dan rintisannya) juga sekolah SD/SMP swasta. Sedangkan kini belum ada kesepakatan. Tanpa kesepakatan itu, dikhawatirkan model penggratisan siswa SD/SMP di sekolah swasta dan SBI ini terjadi kisruh seperti kasus BLT. Kalau menyangkut yang gratis-gratis, orang akan lebih senang mengaku miskin karena anaknya tak harus bayar biaya sekolah.
Selain kesepahaman di atas, perlu diatur partisipasi orang tua siswa yang dinilai kaya. Mereka oleh pemerintah mesti ”dipaksa” berpartisipasi dalam pendidikan minimal kepada sekolah, di mana anaknya belajar. Ini mirip kebijakan presiden Amerika Serikat, Mr Barack Obama yang memberlakukan pajak tinggi kepada orang–orang kaya Amerika.
Diharapkan, model seperti ini akan menjaga asas keadilan sosial juga membantu sekolah dalam membiayai siswa miskin dari hasil subsidi silang. Bukankah pada harta orang-orang kaya (aghniya) itu terdapat hak-hak orang miskin? ***

Posting Komentar untuk "Realisasi BOS, Samakan Data Gakin"