Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pilar Ekonomi Syetan Vs Alternatif


Dalam buku “Satanic Finance, True Conspiration,”, penulis A Riawan Amin menyebutkan, ada tiga pilar keuangan yang menyebabkan bencana perekonomian dunia. Pertama, fiat money atau penggandaan uang. Kedua fractional reserve requirement (FRR) dan ketiga interest atau bunga. Riawan Amin yang kini menjabat Direktur Utama Bank Muamalat Indonesia (BMI) itu menyebutnya, ketiga pilar ekonomi moneter dunia ini sebagai tiga pilar ekonomi syetan (satanic finance).

Disebut pilar ekonomi syetan, lantaran sistem ini perlahan tapi pasti akan memperpuruk umat manusia terperosok pada lubang utang yang membebani karena uang menumpuk pada segelintir orang atau kelompok. Pinjaman uang yang semula manis bagaikan madu, akan menjadi pahit melebihi racun.

Dengan pasti, utang akan mewariskan kemiskinan kemudian membunuh umat manusia dengan kejam tanpa darah tercecer. Akibatnya, utang dalam perspektif individu maupun negara, suatu saat menjelma menjadi penjajahan baru yang membuat individu atau negara yang berutang tak berdaya bahkan menjadi budak. Contoh, saat harga dolar naik terhadap rupiah, masyarakat Indonesialah yang menangggung kenaikan harga akibat harga BBM naik, mengingat transaksi dunia atas BBM hanya dilakukan dalam US dolar dan sedikit saja dengan Euro.


Mari jelaskan satu persatu tiga pilar syetan tersebut. Fiat money, atau pencetakan uang telah menjadi sistem moneter dunia. Pada awalnya, penerbitan uang kertas di sebuah negara semestinya di back up penuh oleh logam mulia (emas atau perak). Misalnya, uang yang dicetak dalam angka kertas Rp100 ribu menunjukkan emas senilai Rp100 ribu yang disimpan di bank. Dengan legalisasi pemerintah, meski uang kertas tanpa back up emas atau perak akan tetap berharga sesuai angka yang ditulis.

Celaknya, bila terlalu banyak uang dicetak, membuat barang-barang riil menjadi mahal dan itulah yang disebut para ekonom dengan istilah inflasi. Di mana nilai tukar uang sangat lemah dibanding dengan barang-barang yang tersedia. Lebih jauh, seandainya pemerintah yang sah kehilangan kepercayaan, angka yang tertulis dalam uang kertas tersebut semata-mata angka, tidak ada nilainya. Krisis di Indonesia tahun 1997 mendongkrak 1 US dollar mencapai angka 18.000 terhadap rupiah.

Berikutnya fractional reserve requirement (FRR). Secara sederhana, FRR dapat diartikan sebagai uang cadangan yang disimpan di bank sentral. Cadangan tesebut biasanya Rp10 persen dari keseluruhan uang deposan. Dengan prosedur FRR, jumlah uang deposan bisa menghasilkan tambahan uang yang dicetak pemilik otoritas keuangan sebanyak 900 persen. Misalnya, kalau ada uang dari deposan Rp10 ribu (original doposit), melalui prosedur FRR --karena uang tersebut diangap sepuluh persennya dari uang yang beredar-- maka bank sentral mencetak uang melalui fiat money (pencetakan uang) sebesar Rp90.000. Luar biasa besarnya.

Pilar berikutnya adalah interst atau bunga. Bunga dalam sistem perekonomian modern sangat lumrah bahkan dianggap mampu menggerakan perekonomian. Semua lembaga keuangan konvensional hidup dari membungakan uang. Alasan pemberlakuan bunga, lembaga keuangan memerlukan cost operasional agar keberlangsungannya terus terjaga.

Ada tiga konskuensi penerapan bunga. Pertama, bunga akan menuntut tercapainya pertumbuhan ekonomi secara terus menerus meskipun perekonomian aktual sudah mencapai titik jenuh atau konstan. Kedua, bunga mendorong persaingan di antara para pemain sebuah ekonomi. Ketiga, bunga cenderung memposisikan kesejahteraan pada segelintir minoritas dengan memajaki kaum mayoritas. Dengan demikian, sistem bunga ini bukannya medorong kesejahteraan seperti yang diharapkan para ekonom, namun menenggelamkan manusia pada utang yang berlipat. Dalam sistem ekonomi syariah, bunga masuk kategori riba dan hukumnya haram.

Dalam kasus krisis Indonesia yang menyisakan utang membengkak, setiap tahun dana APBN tersedot antara 20-30 persen untuk membayar cicilan pokok dan bunga, baik utang negara maupun utang swasta. Pada tahun 2006, total utang pemerintah Indonesia mencapai Rp1.200 triliun.

Sedangkan dalam kasus kris global yang melanda sistem moneter Amerika saat ini, akibat kredit perumahan rakyat yang gagal terbayar. Ini karena nilai kredit jauh dengan nilai uang yang harus dibayar oleh pengambil rumah akibat bunga-berbunga yang jumlahnya terus melambung tinggi menjauhi nilai riil rumah tersebut.

SISTEM EKONOMI ALTERNATIF
Bencana krisis ekonomi dunia sedikit banyak membukakan mata, bahwa harus ada sistem ekonomi alternatif yang diharapkan dapat memberi solusi atas keterpurukan ekonomi ini. Muncul perbankan syariah sebagai instrumen sistem ekonomi islami. Namun terhadap sistem ini masih banyak nada yang ragu-ragu bahkan sinis, termasuk beberapa intelektual muslim. Ini dapat dipahami, karena sistem perbankan syariah baru muncul ke permukaan beberapa dekade terakhir.

Selain itu, kritik muncul kepada para pelakunya yang dinilai belum mampu merepresentasikan, bahwa bank syariah betul-betul beda dengan perbankan konvensional. Dalam anggapan publik –terutama yang kecewa—menyebutkan, “praktik bank syariah sama dengan bank konvensional”. Hal ini wajar terjadi, mengingat perbankan syariah di Indonesia masih relatif baru, yakni dimulai saat didirikan Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1982.

Kritik ini dapat dipahami dari beberapa aspek. Pertama aspek sumber daya syariah (SDS). Adakalanya, para pelaku perbankan syariah hanya menjalankan sistem yang sudah tersedia tanpa dia memahami prinsip-prinsip operasional perbankan syariah secara esensial. Ini ada korelasinya dengan sebuah penelitian dari UI tahun 2006, bahwa SDS perbankan syariah di Indonesia 75 persen lulusan pendidikan bukan berbasis syariah. Artinya, SDS lulusan pendidikan syariah sebesar 25 persen saja. Secara tidak langsung kondisi ini akan mempengaruhi perilaku praktik di perbankan syariah sehari-hari, mengingat dari SDS yang 75 persen tersebut sebagian merupakan jebolan perbankan konvensional yang pindah kerja.

Kedua, aspek regulasi. Sebelum diterbitkan Undang-Undang Perbankan Syariah Nomor 21 tahun 2008, regulasi perbankan syariah masih satu paket dengan UU Perbankan Konvensional yakni UU No10/1998 tentang Perbankan. Dalam UU 10/98 ini disebutkan bahwa perbankan boleh menjalankan dual sistem banking, yakni sistem syariah (bagi hasil) dan non syariah yang berbasis interest (bunga).

Sedangkan dalam UU 21/2008 lebih tegas, bukan saja mencantumkan cara mengatur dan perizinan perbankan syariah, namun mengatur cara penyelesaian persengketaan di perbankan syariah juga mengatur pembentukan komite perbankan syariah. Perlu diingat, dalam penyelesaian sengketa di perbankan syariah, sebelumnya menjadi kendala tersendiri.

Ketiga, paradigma perbankan konvensional (bunga) sudah sedemikian melekat di masyarakat. Dari pengakuan para pekerja perbankan syariah, saat calon mitra membutuhkan uang untuk modal usaha, yang pertama kali ditanyakan adalah berapa persentase pengembalian pinjaman. Biasanya, calon nasabah (mitra) cenderung ingin piksed berapa kelebihan yang harus dikembalikan ke bank layaknya bunga.

Namun selain kritik di atas, sistem perbankan syariah juga harus diakui mampu membuktikan kehandalannya. Salah satunya tahan terhadap badai krisis yang memporakporandakan sistem moneter Indonesia pada tahun 1997. Saat itu, tak kurang 16 bank dilikuidasi dan operasionalnya diambil alih oleh pemerintah.

Apa yang menyebabkan kehandalannya? Salah satu jawabannya, karena sistem bagi hasil (profit sharing). Keunggulan profit sharing ini karena antara bank dengan kreditur statusnya mitra yakni antara pengusaha dan pemilik modal (mudhorib dan sohibul mal). Dengan demikian, pihak bank memperoleh keuntungan bukan didasarkan pada bunga dari jumlah uang yang dipinjamkan, melainkan dari bagi hasil atas keuntungan pengusaha berdasarkan nisbah yang ditentukan sebelumnya.

Para ekonom sering menyebut ekonomi berbasis syariah ini dengan sistem ekonomi alternatif. Namun sistem ini baru pada tahapan perang dalam satu pilar ekonomi menoter yang berlaku saat ini, yakni memererangi interes semata melalui sistem perbankan syariah yang tersedia. Sedangkan pada fiat money (penggandaan uang) serta fractional reserve requirement (FRR) masih jauh panggag dari api.

Artinya, para pelaku ekonomi syariah atau pegiat ekonomi syariah masih harus bekerja keras untuk menciptakan sistem ekonomi alternatif ini sehingga dapat dianut oleh ekonomi masyarakat dunia. Misalnya, mengembalikan alat tukar dengan logam mulia atau setidaknya pencetakan uang kertas di back up sepenuhnya dengan logam mulia yang setara serta menghilangkan bunga.

Demikian juga perkembangan perbankan syariah sebagai salah satu penopang sistem perekonomian islami harus dibarengi dengan langkah-langkah yang tepat. Sehingga kritikan yang selama ini dihembuskan atas praktik-praktik perbankan syariah sedikit banyak tertangkis dengan pelaksanaan operasional perbankan yang menjamin asas keadilan serta menguntungkan dibarengi kinerja profesional. “Bank syariah, bukan sekedar bank,” demikian tagleg sebuah iklan di TV. Wallohualam bissowab. (*)

Artikel ini telah dimuat di Koran Pikiran Rakyat Edisi 29 Februari 2009

Posting Komentar untuk "Pilar Ekonomi Syetan Vs Alternatif"