Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Segera Akhiri Ketimpangan Ekonomi

Edisi 18 Desember Radar Tasikmalaya melaporkan seorang anak, warga Kampung Genteng RT 05/01 Kelurahan Cilamajang Kecamatan Kawalu Kota Tasikmalaya mengalami gizi buruk (marasmus). Nama anak itu Dikri Nur Muhammad yang masih usia 2,5 tahun. Ia putra pasangan Ade Suhendar dan Iis Ismawati (alm), memiliki berat badan hanya 8 kg dan tinggi badan 80 cm. Awalnya, Dikri lahir dengan berat badan normal seperti anak lainnya, seberat 3 kg.
Untuk mengobati anaknya itu, ayahanda Dikri, Suhendar tidak tinggal diam. Ia berusaha sekuat tenaga meski harus menjual harta benda miliknya yang tak seberapa. Namun sayang, anak malang ini belum bisa disembuhkan. Ia tetap hidup dalam kondisi tak seperti anak sebaya lainnya. "Semula, saat istri saya masih hidup, Dikri menderita panas, kemudian kejang-kejang. Kami sempat membawa ke RS Hasan Sadikin Bandung. Tapi karena tak ada biaya, ditambah ibunya meninggal, akhirnya Dikri kami bawa pulang paksa," katanya waktu itu.
Bila melihat latar belakang Dikri, jelas keluarganya kurang mampu dalam memberi asupan gizi. Meskipun mereka sudah berusaha memberikan yang terbaik kepada anaknya itu.
Berdasarkan catatan Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya, sejak Januari hingga pertengahan Desember 2007, bayi yang mengalami gizi buruk mencapai 600 dari 60.000 bayi yang lahir. Atau bila dipersentasekan mencapai 1 persen.
Namun demikian, pihak dinas kesehatan berdalih, angka itu bukan angka kritis sebuah daerah dalam hal gizi buruk. Melainkan masih dalam skala kekurangan asupan makanan bergizi. Sedangkan balita yang mencapai gizi buruk kritis hingga disebut marasmus tercatat hanya tiga balita termasuk di dalamnya Dikri. "Berdasarkan laporan dari posyandu, kategori gizi buruk di kita bukan tahap kritis. Tapi kekurangan asupan makanan bergizi, hingga menyebabkan turunnya berat badan selama tiga bulan berturut-turut," papar Kadinkes Kota Tasikmalaya H Ahmad Harris waktu itu.
Lanjutnya, anggaran pemerintah Kota Tasikmalaya untuk menangani persoalan balita yang mengalami gizi buruk hanya Rp200 juta. Anggaran sebesar itu kata Harris belum bisa menangani secara maksimal
Terlapas dari argumen di atas, kondisi ini cukup mengkhawatirkan. Sebab di lain pihak, banyak program yang dibuat pemerintah. Akan tetapi hasilnya belum bisa menghilangkan kasus-kasus seperti yang menimpa Dikri di atas.
Padahal seperti dalam kampanya yang selama ini digembar-gemborkan, pemerintah bertekad meminimalisir Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Anak (AKA) atau meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Misalnya, melalaui Program Pendanaan Kompetensi (PPK) IPM Jawa Barat yang menghabiskan anggaran puluhan miliar rupiah di daerah sasaran.
Program ini dimaksudkan meningkatkan IPM di atas, yang diyakini sebagai tolok ukur kualitas hidup manusia. Tolok ukur ini, melalaui tingat daya beli masyarakat, tingkat pendidikan serta mudahnya akses masyarakat terhadap kesehatan.
Diharapkan, keluarga miskin bisa meningkat pendapatannya melalui PPK IPM Bidang Daya Beli, sehingga mereka bisa menyekolahkan anaknya. Demikian juga seorang ibu hamil tidak lagi cemas saat menghadapi masa-masa kelahiran. Misalnya dengan program PPK-IPM bidang kesehatan. Salah satunya membuat kelurahan siaga.
Namun sayang, nampaknya program ini, kurang begitu dirasakan oleh masyarakat luas. Sebagai contoh kasus, seperti dilaporkan Radar Tasikmalaya, 21 Desember 2007, seorang ibu melahirkan di sebuah gudang (kediamannya) lantaran tidak bisa melahirkan di bidan juga karena tidak memiliki biaya.
Ibu itu bernama Heni (32) istri Dedi Mulyadi (35) yang bekerja sebagai tukang becak, warga Kampung Cempakawarna RT 02/07 Kelurahan Cilembang. Ia tidak bisa melahirkan di bidan seperti halanya orang-orang yang mampu. Sedangkan fasilitas untuk keluarga miskin dilaporkan bidan sudah habis. Namun bersyukur, bayinya lahir dengan bantuan seorang dukun anak (paraji) selamat dan lancar. Jika melihat kasus di atas, lagi-lagi yang menjadi kambing hitam kekurangan ekonomi keluarga. Ini seperti yang dialami Dikri di Kawalu, mengalami gizi buruk lantaran orang tuanya tidak bisa memberikan asupan gizi yang memadai.
Memang, persoalannya bukan semata-mata faktor eksternal. Faktor internalpun, seperti perilaku orang tua (ibu) saat hamil menjadi faktor yang menentukan. Namun demikian, faktor eksternal juga mesti diperhatikan. Sebab rata-rata, kekurangan gizi itu dialami oleh keluarga yang hidup di bawah kemiskinan. Mereka bukan malas bekerja, tetapi lebih pada tidak ada kesempatan bekerja untuk mendongkrak ekonomi keluarganya yang serba walurat.
Melihat demikian, semestinya, pemerintah lebih fokus bagaimana mengurangi angka pengangguran, baik yang teselubung maupun yang terbuka. Kebijakan ini juga perlu didukung oleh sikap politik para wakil rakyat yang duduk atas nama rakyat yang mustadzafin (tertindas) itu. Dikatakan mustadzafin, karena mereka tergilas sistem yang tidak berpihak kepadanya. Sebaliknya, sistem hanya berpihak kepada para pemilik modal (kapitalistik).
Sepertinya, tak ada proteksi terhadap keberlangsungan para pengusaha kecil. Sebagai contoh, tak pernah ditemukan resep jitu menyelesaikan persoalan Pedaganag Kaki Lima (PKL). Namun yang dilakukan hanya kebijakan reaktif, merazia atau menggusur para PKL dengan alasan hukum yang sama-sama tidak berpihak kepada mereka. Padahal, mungkin para PKL itu, orang tua seperti halnya ayah Dikri, atau seorang suami seperti Dedi Mulyadi yang menginginkan kelahiran anaknya melalui bantuan bidan yang mengeluarkan biaya tak sedikit.
Jelas, semua masalah di atas bermuara pada ketimpangan ekonomi. Di lain pihak, para pengusaha menerik bermiliar-milar keuntungan di pusat kota. Sementara orang miskin semakin terpinggirkan dan hidup di gang-gang sempit dan kotor.
Maka ke depan, perlu kebijakan yang berpihak pada masyarakat miskin ini dengan menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya serta menyadarkan agar mereka bangkit. Tanpa itu, rasanya sia-sia, pemerintah membuat program yang menghabiskan puluhan miliar rupiah. Apalagi bila dana yang digelentorkan hanya berputar pada lingkaran elit-elit birokrasi dan lingkaran kekuasaan. (anep paoji)

Posting Komentar untuk "Segera Akhiri Ketimpangan Ekonomi"